Sumber gambar: sahabatsinergi.com
Ketimpangan gender atau ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam berbagai perspektif merupakan masalah yang dihadapi oleh semua negara di dunia. Dari masalah ini, munculah tujuan untuk mencapai kesetaraan gender sebagai tujuan kelima dalam SDGs (Sustainability Development Goals). Diskriminasi terhadap perempuan dan anak masih banyak terjadi di banyak negara berkembang dimana mereka kehilangan hak dan kesempatan mereka dalam beberapa hal hanya karena perbedaan gender.
Berdasarkan studi literatur yang dilakukan oleh Faturachman dan Fera (2022) tentang kesetaraan gender, kasus ketidaksetaraan gender yang paling sering ditemukan adalah ketidaksetaraan antara gaji perempuan dan laki-laki, kepemimpinan perempuan dalam organisasi, dan pemberdayaan perempuan dalam peningkatan pertumbuhan ekonomi. Masalah-masalah perlahan-lahan akan diselesaikan melalui target-target dalam SDGs.
Dalam melihat kondisi ketimpangan gender di dunia, terdapat beberapa indikator yang digunakan. Namun semua indikator tersebut dapat diringkat dalam satu indikator komposit yaitu Gender Inequality Indeks (GII). GII menggambarkan potensi capaian pembangunan manusia yang hilang sebagai dampak dari ketimpangan pencapaian pembangunan antara laki-laki dan perempuan dalam tiga dimensi. Jadi, semakin kecil nilai IKG maka ketimpangan gender yang terjadi semakin kecil dan semakin baik. Namun sejak tahun 2019, Badan Pusat Statistik melakukan pengembangan dalam pengukuran GII menjadi pengukuran Indeks Kesetaraan Gender (IKG) dimana perbedaan diantara dua indeks tersebut terletak pada indikator ketimpangan kesehatan. Namun, tujuan dari kedua indeks tersebut sama, yaitu mengukur ketimpangan gender yang terjadi dalam suatu wilayah.
Di Indonesia, berdasarkan data IKG dari Badan Pusat Statistik (BPS) nilai IKG Indonesia cenderung terus mengalami penurunan sejak tahun 2000 sampai tahun 2021. Hal ini menandakan perkembangan yang baik dalam hal penuntasan ketimpangan gender di Indonesia. Namun, dibandingkan 10 negara di ASEAN Indonesia menempati peringkat ke-7 dalam GII. Hal ini dikarenakan tingkat kematian ibu (MMR) di Indonesia masih cukup tinggi diantara negara lainnya di ASEAN. Hal ini menandakan bahwa akses kersehatan seksual dan reproduksi terhadap perempuan di Indonesia masih perlu ditingkatkan baik dari sisi kualitas maupun kuantitasnya.
Dalam provinsi-provinsi di Indonesia, IKG tertinggi pada tahun 2020 terjadi di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) dengan nilai IKG 0,531 lebih dari angka nasional yaitu 0,39. Hal ini menandakan bahwa ketimpangan gender paling banyak terjadi di Provinsi NTB sepanjang tahun 2020.
Hal menarik dalam beberapa faktor penyebab ketimpangan gender di provinsi NTB adalah dimana di provinsi ini memiliki tingkat pernikahan dini yang tinggi. Menurut data dari BPS tingginya proporsi usia kawin pertama penduduk usia kurang dari 18 tahun di NTB yaitu 31,23% yang tertinggi kedua di Indonesia setelah Kalimantan Tengah dan lebih tinggi dari rata-rata nasional yang sebesar 21,19%. Dimana hal ini berimplikasi pada tingginya Angka Kematian Ibu (MMR) di NTB yaitu sebesar 257, angka ini sangat tinggi dibandingkan rata-rata nasional yang hanya 189.
Selain dari sisi kesehatan seksual dan reproduksi, penyebab tertinggi dari tingginya IKG di NTB juga disebabkan oleh rendahnya partispasi perempuan dalam parlemen yang hanya sebesar 1,54% jauh lebih rendah dari rata-rata nasional yaitu 21%. Sehingga tak heran jika skor IKG provinsi NTB rata-rata selalu menempati posisi 3 besar di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir.
Dengan beberapa faktor penyebab tersebut, pemerintah NTB telah melakukan program dalam menekan tingkat pernikahan dini masyarakat NTB yaitu dengan program Gerakan Anti Perkawinan Anak (Gerakan Anti Merariq Kodeq) dengan program “Yes I Do” untuk mencegah dan mengurangi perkawinan anak. Program ini telah dilakukan mulai tahun 2017. Namun, melihat data terbaru yang masih menunjukkan masih tingginya pernikahan dini, pemerintah masih perlu melakukan evaluasi menyeluruh dan memperbanyak program untuk menekan kasus pernikahan dini di NTB.
Selain itu, pemerintah juga perlu melakukan upaya-upaya untuk meningkatkan partisipasi perempuan dalam parlemen yang dalam ranah pemerintahan Indonesia yaitu DPRD. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan penetapan peraturan-peraturan tentang syarat minimum jumlah perempuan dalam keanggotaan DPRD di Provinsi NTB maupun di kabupaten-kabupaten di Provinsi NTB.
Sumber:
Artikel Kesetaraan Gender dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan(SDGs) : Suatu Reviuw Literatur Sistematis, dalam Jurnal
Publicuho Volume 5 Nomor 4 Tahun 2022
Publikasi BPS, Statistik Pemuda Indonesia 2023
Publikasi BPS, Indeks Ketimpangan Gender Indonesia 2022
Komentar
Posting Komentar