Langsung ke konten utama

Transformasi Si Anak Desa di Tanah Perantauan, Jakarta

 


Siapa yang tidak kenal Jakarta? Jikalau nama “Jakarta” disebut, yang pertama terlintas dipikiranku adalah “kota besar”. Sebagai seseorang yang lahir dan besar di sebuah desa di pinggiran Kota Mataram, bisa hidup di kota menjadi salah satu impianku. Kenapa? Untukku tinggal di kota akan memberiku banyak keuntungan akses ke minimarket yang mudah, ongkos kirim belanja online lebih murah, dan tidak susah sinyal.

Dan disinilah tempat tinggalku sekarang, Kota Jakarta.

Proses beradaptasi dari seseorang yang tinggal di pinggiran kota menjadi seseorang yang tinggal di jantung ibu kota negara tidak terlalu sulit untukku. Realita tinggal di kota yang padat ini tidak sesulit ekspetasiku sebelum menginjakkan kaki disini. Walaupun begitu, awal datang ke Jakarta aku cukup kaget dengan kondisi tempat tinggal yang sumpek dan terlalu banyak orang ini. Namun, aku takjub dengan berbagai pemandangan kota yang tidak pernah kulihat sebelumnya di kampung halamanku yang berbeda hampir 180 derajat. Tak kulihat sawah disini, hanya tembok, gedung, jalan raya, dan manusia. Langitnya pun putih, entah itu awan atau polusi aku tidak tahu.

Hampir dua tahun menjalani kehidupan di Jakarta membuat beberapa perubahan dalam diriku dan membuatku sadar akan berbagai hal terutama kehidupan sebagai anak rantau. Jakarta membuatku menjadi orang yang cashless karena semua pembayaran dapat dilakukan dari smartphone, bahkan banyak toko yang tidak menerima pembayaran cash. Hal ini juga membuatku menjadi lebih boros dan sulit mengontrol pengeluaranku. Tidak seperti di kampung halamanku yang masih lebih banyak mengandalkan pembayaran dengan cash, sehingga aku bisa mengontrol uang yang kugunakan. Ini sangat terasa saat aku pulang ke kampung halaman karena aku sering lupa membawa uang cash saat berbelanja.

Hal yang kusukai tentang hidup di Jakarta adalah tentang transportasi. Di daerah asalku, moda transportasi yang bisa kugunakan adalah moda kendaraan pribadi, angkutan umum sangat jarang dan tidak dapat mengakses perjalanan ke kota. Di Jakarta, tanpa memiliki kendaraan pun aku sudah bisa keliling Jakarta. Moda transportasi favoritku adalah MRT walaupun aksesnya terbatas dan aku lebih sering menggunakan Bus Transjakarta. Entah mengapa aku sangat menikmati saat menaiki transportasi umum, tidak peduli betapa padatnya saat ramai ataupun berdiri berjam-jam, aku tetap menikmati perjalanannya entah itu suasananya atau pemandangan kota yang dilewati. “Capek tapi seru” itulah yang kurasakan saat menaiki transportasi umum.

Sejak tinggal di Jakarta juga aku merasa lebih percaya diri untuk bepergian seorang diri. Aku terbiasa pergi kemanapun sendiri jikalau teman-temanku tidak ada yang bisa menemaniku ataupun memang aku sedang ingin pergi sendirian. Terkadang bepergian sendirian menurutku hal yang menyenangkan karena tidak terikat oleh orang lain, namun terkadang juga aku senang bepergian dengan teman-temanku karena lebih menyenangkan jika ada teman bercanda dan berbicara. Aku suka keduanya.

Mungkin itulah sedikit perubahan yang kurasakan setelah hampir dua tahun menjalani hidup di Kota Jakarta. Jakarta memang memesona, tapi jangan jatuh dan berlarut terlalu dalam pesonanya agar ia tidak mengubah dirimu sepenuhnya.

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Review Novel Dekdi A : The Luicifer Prince Who Fell For Me

 Novel yang akan aku review kali ini adalah novel karya Dekdi A yang  berjudulThe Lucifer Who Fell For Me Informasi Buku Judul Buku : The Lucifer Prince Who Fell For Me Penulis : Dekdi A Jumlah halaman : 408 halaman Tahun terbit : 2021 Penerbit : Reneluv Genre : Fantasi, Romance, Kerajaan, Fanfiction Harga : Rp.100.000,00 Sinopsis Sejak lahir, Gracia Walson memiliki kelainan jantung yang membuatnya tidak bisa bersosialisasi. Harapannya adalah adalah sembuh dan bisa hidup seperti manusia pada umumnya. Namun, diusianya yang ke-25 tahun, Gracia malah menghembuskan nafas terakhir dengan kondisi memeluk sebuah novel berjudul The Lucifer Who Fell For Me.   Menjelang ajalnya, Gracia memohon sebuah kehidupan yang sehat dan bahagia. Tanpa diduga, Gracia malah terbangun di sebuah kastil megah dengan wujud seorang remaja yang begitu cantik. Remaja tersebut bernama Grace Nata Weldon, seorang tokoh antagonis di novel The Lucifer Who Fell For Me . Ia seorang wanita sosiopat yang berakh...

Isi hati untuk TPKI

  Saat pertama kali tahu bahwa pada perkuliahan semester 4 ini ada mata kuliah TPKI, aku pikir mata kuliah ini akan mirip mata kuliah Bahasa Indonesia di semester sebelumnya yang kumasukkan ke dalam kategori “mata kuliah santai”. Datanglah perkuliahan TPKI pertemuan pertama, bersama Ibu Siska yang belum pernah ku kenal sebelumnya. Awal pertemuan kuliah TPKI sangat menyenangkan, suasana belajar yang cukup tenang dan menyenangkan, terlebih lagi saat aku tau mata kuliah ini akan sangat membantu dalam penyusunan tugas akhir saat tingkat tiga. Semua sangat menyenangkan sampai pada akhirnya Ibu Siska menerangkan akan ada tugas penelitian kelompok, tugas buat tulisan blog, kuis setiap pertemuan, dan penyusunan proposal sebagai UAS. Aku cukup kaget dengan tugas mata kuliah ini yang ternyata cukup banyak dibandingkan mata kuliah lainnya. Terlebih lagi ada tugas penelitian kelompok yang akan diselesaikan dalam waktu 1 semester yang mengharuskan ada kerja kelompok TPKI setiap minggu sampa...