Langsung ke konten utama

Hilangnya Ikatan Persahabatan Akibat Munculnya Smartphone

 

Aku lahir dan besar di sebuah desa di pinggiran kota Mataram, Provinsi Nusa Tenggara Barat sebut saja nama daerahnya Desa Daster. Sebagai gen Z yang lahir di tahun 2002, transformasi kehidupan akibat munculnnya smarthphone sangat terasa bagiku terutama di daerah tempat tinggalku. Disini aku akan bercerita bagaimana perkembangan teknologi (smartphone) hadir dan merubah permainan tradisonal di lingkungan rumahku, yaitu RT 5, Desa Daster.

Ini dimulai sejak masa kecilku sekiranya tahun 2007, saat itu aku masih berusia 5 tahun. Di lingkunganku, aku bermain seperti anak kecil lainnya bersama 7 orang temanku lainnya yang terdiri dari memang tinggal di lingkungan yang sama. Kami bersahabat sejak lahir karena memang tahun lahir kami yang saling berdekatan dan latar budaya kami yang sama yaitu dari orang tua yang merantau dari Pulau Bali. Saat itu, tiada hari tanpa bermain, setiap jam 2 siang kami akan berkumpul di salah satu rumah untuk bermain permainan apapun. Berbagai permainan tradisional kami mainkan untuk menghabiskan waktu, mulai dari selodor, benteng, dengkleng, sembunyi-sembunyian, perang mangga, dan berbagai permainan lainnya yang tak kuingat namanya. Masa-masa itu sangat menyenangkan untukku walaupun terkadang sering di omelin orang tua karena sering bermain sampai lupa waktu.

Semuanya terasa sangat menyenangkan sampai tiba di tahun 2015. Saat itu adalah masa kami SMP, kami pergi ke sekolah bersama dengan angkutan umum yang di daerahku disebut bemo. Saat itu, kami masih berkumpul dan bermain seperti biasa, setiap hari jam 3 sore di rumah si A. Di masa-masa ini satu persatu dari kami mulai memiliki smartphone. Sejak sebagian besar dari kami memiliki smartphone permainan yang kami lakukan mulai berubah. Permainan tradisional yang biasa kami mainkan sudah tergantikan oleh game online yang ada di smartphone, aku ingat saat itu sedang tren permainan Clash of Clans. Sebagian besar dari temanku adalah laki-laki dengan proporsi 4:3 yang menjadikan hampir semua bermain game online dan tidak mau lagi bermain permainan tradisional. Lama-kelamaan aku merasa bosan karena aku dan teman perempuan lainnya tidak bisa bermain game online tersebut. Karena hal tersebut, persahabatan kami terpecah menjadi dua klub yaitu klub game online yang berisi teman-teman yang laki-laki dan klub non-game online yang berisi perempuan. Sejak saat itu kami bermain sendiri-sendiri, para laki-laki dengan game online-nya dan aku bersama teman perempuanku lainnya bermain permainan lain. Sesekali kami semua kembali bermain permainan tradisional bersama sampai pada akhirnya tidak pernah kami lakukan lagi. Saat itu aku benar-benar membenci smartphone yang membuat persahabatan kami berubah.

Hal ini terus berlanjut sampai kami sama-sama SMA, perpecahan ini benar-benar membuat hubungan kami menjadi canggung yang ditambah dengan saat itu kita semua di masa puber. Semuanya tak lagi sama seperti sebelumnya. Sudah tidak ada lagi kumpul bersama setiap jam 3 sore karena bermain game (mabar) sudah bisa dilakukan di rumah masing-masing. Aku berpikir andaikan saat itu smarthphone dan game online tidak muncul apakah persahabatan kami akan sama saat seperti masa sebelum smartphone muncul?

Namun, perubahan dunia dalam hal teknologi memang tidak bisa dihindari, yang bisa kita kontrol adalah cara kita menyikapi perubahan ini.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Review Novel Dekdi A : The Luicifer Prince Who Fell For Me

 Novel yang akan aku review kali ini adalah novel karya Dekdi A yang  berjudulThe Lucifer Who Fell For Me Informasi Buku Judul Buku : The Lucifer Prince Who Fell For Me Penulis : Dekdi A Jumlah halaman : 408 halaman Tahun terbit : 2021 Penerbit : Reneluv Genre : Fantasi, Romance, Kerajaan, Fanfiction Harga : Rp.100.000,00 Sinopsis Sejak lahir, Gracia Walson memiliki kelainan jantung yang membuatnya tidak bisa bersosialisasi. Harapannya adalah adalah sembuh dan bisa hidup seperti manusia pada umumnya. Namun, diusianya yang ke-25 tahun, Gracia malah menghembuskan nafas terakhir dengan kondisi memeluk sebuah novel berjudul The Lucifer Who Fell For Me.   Menjelang ajalnya, Gracia memohon sebuah kehidupan yang sehat dan bahagia. Tanpa diduga, Gracia malah terbangun di sebuah kastil megah dengan wujud seorang remaja yang begitu cantik. Remaja tersebut bernama Grace Nata Weldon, seorang tokoh antagonis di novel The Lucifer Who Fell For Me . Ia seorang wanita sosiopat yang berakh...

Isi hati untuk TPKI

  Saat pertama kali tahu bahwa pada perkuliahan semester 4 ini ada mata kuliah TPKI, aku pikir mata kuliah ini akan mirip mata kuliah Bahasa Indonesia di semester sebelumnya yang kumasukkan ke dalam kategori “mata kuliah santai”. Datanglah perkuliahan TPKI pertemuan pertama, bersama Ibu Siska yang belum pernah ku kenal sebelumnya. Awal pertemuan kuliah TPKI sangat menyenangkan, suasana belajar yang cukup tenang dan menyenangkan, terlebih lagi saat aku tau mata kuliah ini akan sangat membantu dalam penyusunan tugas akhir saat tingkat tiga. Semua sangat menyenangkan sampai pada akhirnya Ibu Siska menerangkan akan ada tugas penelitian kelompok, tugas buat tulisan blog, kuis setiap pertemuan, dan penyusunan proposal sebagai UAS. Aku cukup kaget dengan tugas mata kuliah ini yang ternyata cukup banyak dibandingkan mata kuliah lainnya. Terlebih lagi ada tugas penelitian kelompok yang akan diselesaikan dalam waktu 1 semester yang mengharuskan ada kerja kelompok TPKI setiap minggu sampa...

Transformasi Si Anak Desa di Tanah Perantauan, Jakarta

  Siapa yang tidak kenal Jakarta? Jikalau nama “Jakarta” disebut, yang pertama terlintas dipikiranku adalah “kota besar”. Sebagai seseorang yang lahir dan besar di sebuah desa di pinggiran Kota Mataram, bisa hidup di kota menjadi salah satu impianku. Kenapa? Untukku tinggal di kota akan memberiku banyak keuntungan akses ke minimarket yang mudah, ongkos kirim belanja online lebih murah, dan tidak susah sinyal. Dan disinilah tempat tinggalku sekarang, Kota Jakarta. Proses beradaptasi dari seseorang yang tinggal di pinggiran kota menjadi seseorang yang tinggal di jantung ibu kota negara tidak terlalu sulit untukku. Realita tinggal di kota yang padat ini tidak sesulit ekspetasiku sebelum menginjakkan kaki disini. Walaupun begitu, awal datang ke Jakarta aku cukup kaget dengan kondisi tempat tinggal yang sumpek dan terlalu banyak orang ini. Namun, aku takjub dengan berbagai pemandangan kota yang tidak pernah kulihat sebelumnya di kampung halamanku yang berbeda hampir 180 derajat...